Monday, October 31, 2011

Karena Alloh Menyayangimu

"Allahumma'jurni fii mushibatii wa akhlif lii khiran minhaa.."

Aku belum beranjak dari sajadahku. Pun kedua tanganku masih rapat menengadah pilu. Bernafas sehabis menyelam dalam syahdunya raka'at qiyamul lail yang baru selesai kutunai. Dan kini lisanku berulang memanjatkan do'a yang pernah dilantunkan Ummu Salamah radhiyallahu 'anha berabad-abad lalu. Seiring aliran bulir bening yang mulai membasahi bagian depan mukena putihku.

"Allahumma'jurni fii mushibatii wa akhlif lii khairan minhaa.."

***

Pagi itu langit berhias mendung. Tapi cuaca di luar tak lantas membuatku murung. Justru sebaliknya, rautku begitu cerah. Secerah perasaanku yang tengah dipenuhi kuncup bunga, dan sebentar lagi akan segera merekah. Itu harapku.
Kukenakan jilbab 'raksasa'ku yang bagian bawahnya hampir menyentuh lutut. Warnanya senada dengan gamis panjang yang kini melekat di tubuhku. Biru donker. Tak lupa kaus kaki yang serupa dengan warna mansetnya. Biru muda. Semuanya polos. Sepolos wajahku yang tak dibumbui polesan apapun. Hanya ada bekas wudhu dhuha tadi.
"Sudah siap, Nak?", tanya ummi yang sedari tadi tak kusadari sedang memperhatikanku dari pintu kamar.
"Iya, Mi.", jawabku singkat sambil tersenyum agak malu.
Ummi balas tersenyum.
"Yo wes, tunggu saja. Mungkin sebentar lagi mereka sampai.", lanjut Ummi.
Aku mengangguk.
Ya, hari itu akan ada proses nazhar (melihat calon suami/istri) di rumah kami. Sesuai janji, rombongan pihak laki-laki akan tiba di kediaman pukul sembilan pagi itu. Dan benar saja, tak lama kemudian sebuah mobil sedan hitam terlihat parkir di halaman rumah kami. Itu mereka.
Setelah 'berbasa-basi' hingga suasana mulai menghangat, tibalah saatnya aku keluar kamar menuju ruang tamu.
Tersipu, berdebar, gemetar, serasa tak karuan. Tapi kucoba menata perasaan agar nampak lebih tenang. Kulihat sekilas, ada empat orang laki-laki bersahaja yang duduk berhadapan dengan orang tuaku. Belakangan aku tahu, ada 'calon'ku, murabbi, dan dua orang teman sehalaqahnya. Itu merupakan 'kunjungan' mereka yang kedua.
Pembicaraan inti pun dimulai. Dan kami -aku dan si calon- dipersilakan untuk saling melihat satu sama lain. Satu detik. Dua detik. Wush! Ya, hanya dua detik kami saling tatap. Tak Lebih. Dua detik yang terasa aneh. Dua detik yang begitu menghujam perasaan. Dua detik yang kian menambatkan keyakinan.
Seketika kugenggam tangan kanan Ummi yang duduk di sebelahku, menenangkan hati.
Diluar dugaan. Sebelum kegaduhan hatiku reda, murabbi si ikhwan  itu melontarkan pernyataan yang membuat kaget kedua orang tuaku. Pun aku tentunya, lebih dari kaget.
"Kedatangan kami hari ini..", ujarnya memulai "..tidak hanya sekedar untuk proses nazhar seperti rencana awal. Tapi juga sekaligus mengkhitbah. Maka dengan ini saya mewakili mutarabbi saya, saudara yang sangat saya cintai ini melamar puteri Bapak untuk dipersuntingnya. Maaf kalau hal ini membuat terkejut. Tapi rupanya saudara saya ini hatinya sudah mantap dan tidak ingin berlama-lama lagi."
Ummi dan abi saling berpandangan beberapa detik.
"Sebuah kehormatan bagi kami atas niat yang begitu baik dari Ananda sekalian. Soal keterkejutan, rasanya tidak santun jika ianya dibesar-besarkan. Tapi untuk hak jawab ini kami serahkan sepenuhnya kepada puteri kami.", papar abiku kemudian, seperti tak tersirat ketegangan disana.
Ruangan hening sejenak. Semua seolah tak bernafas menanti kata-kata apa yang akan keluar dari mulutku.
"Sebelum saya berikan jawaban..", ucapku "..saya ingin tau satu hal. Kita belum pernah kenal sebelumnya. Dan Akhi tau, usia saya belum genap sembilan belas tahun. Jangankan gelar, kuliah aja belum. Pun soal ilmu, saya tak ada seujung kuku. Sedang di luar sana mungkin banyak akhwat yang lebih pantas, yang begitu gelisah menanti datangnya pinangan yang tak kunjung tiba. Lantas, kenapa Akhi memilih saya?", tanyaku menyelidik.
Sesaat kemudian terdengar suara penuh wibawa itu berlontar.
"Urusan saya disini adalah menikah. Tidak jadi masalah besar dengan siapa. Tak peduli ia gadis ataupun janda. Jelita atau buruk rupa. Tidak penting ia miskin atau kaya. Tidak juga melihat apa pendidikan terakhirnya. Karena dasarnya sudah jelas, agama dan akhlaq sejatinya. Urusan saya disini adalah menikah. Dan saya ingin dapatkan jawaban itu hari ini. Bukannya tergesa-gesa. Tapi saya hanya ingin menyegerakan apa yang memang seharusnya disegerakan. Saya bisa saja menyuruh Anti  menunggu saya hingga saya diwisuda akhir tahun ini. Tapi bagi saya, tak ada pilihan untuk menanti atau dinanti. Karena dalam masa penantian itu pasti ada banyak celah syaithan yang akan membengkokkan kebeningan niat dan hati. Urusan saya disini adalah menikah. Jadi ini persoalan keyakinan. Hasil dari istikharah panjang. Dan saya tegaskan, bukan saya yang memilih Anti. Melainkan Yang Maha Memberi. Dia lah Yang telah memberikan keyakinan pada saya dan memudahkan semuanya. Hingga akhirnya saya bisa sampai di rumah ini.", urainya panjang.
Dalam hatiku bergemuruh.
Ikhwan ini...
Aku berunding sesaat oleh kedua orang tuaku. Kemudian kuberikan jawaban sesuai hasil istikharah pula di hari-hari kemarin.
"Bismillah, saya terima lamarannya tanpa syarat apapun."
"Alhamdulillah..", sontak keempat lelaki itu berujar syukur serentak. Seolah keempatnya baru saja diterima pinangannya bersamaan. Lalu secara bergantian ketiga pengantarnya itu memeluk calon suamiku. Ya, calon suamiku.
Setelah itu sesi pengajuan mahar.  Mahar yang tentunya tidak memberatkan. Perihal tanggal akad nikah, menyusul kemudian.
Setelah tamu-tamu 'barakah' itu pulang, ummi memelukku erat. Terlihat matanya berkaca-kaca. Haru. Menjadikanku tak jua bisa menahan air mata. Kami menumpahkan gejolak jiwa bersama dalam diam. Tanpa kekata. Tanpa bicara.

Rasanya seperti ada yang melayang dalam tubuhku. Aku merasa kini telah menemukan pelabuhan untuk jiwaku yang begitu merindu kesempurnaan separuh diin. Aku merasa tak lama lagi akan segera punya teman hidup untuk melengkapi ketaqwaan padaNya. Kalimat tahmid tak henti kuucap.

Selepas shalat 'ashar -beberapa jam setelah kepulangan rombongan ikhwan-ikhwan itu- handphoneku menjerit, tanda panggilan masuk. Aku yang ketika itu sedang tilawah surat al kahfi tidak terlalu mempedulikannya. Hingga bunyinya terhenti sendiri. Namun tak lama, terdengar berdering kembali. Kuhentikan bacaan qur'anku. Sejurus nampak di layar handphone, "Mbak Hafshah". Murabbiyahku ternyata! Segera kuangkat dan mengucap salam.
"Wa'alaykumussalam warahmatullah.. Dek?", sapa suara di seberang.
"Iya, Mbak. 'afwan baru diangkat. Ada apa ya, Mbak?"
"Kamu sudah dengar berita itu?", mbak Hafshah balik bertanya.
"Berita apa, Mbak? Oiya, Mbak udah tau kabar gembira hari ini? Tentang proses lamaranku tadi pagi.. Mbak Hafshah pasti seneng dengernya.", tubiku tanpa jeda.
Tak ada jawaban. Agak lama.
"Mbak kenapa diam aja? Ada yang salah ya dari kata-kataku tadi? Ada apa, Mbak?", tanyaku lagi.
Perempuan yang usianya tujuh tahun lebih tua dariku itu terdengar menghela nafas. Seperti ada sesuatu yang berat yang ingin disampaikannya.
"Mbak mau tanya dulu..", ujarnya "..kita ini milik siapa, Dek?"
"Milik Allah.", jawabku sambil mengerutkan dahi.
"Tepat!", sontaknya.
"Terus kenapa, Mbak?"
"Dek.. Soal lamaranmu tadi pagi. Mbak tau sekarang dirimu sedang berbahagia. Mbak tau kamu sedang mempersiapkan diri menyambut masa-masa indah itu. Tapi mbak juga tau, karena Allah menyayangimu, Dindaku.. Maka Dia ingin menunjukkan kasih sayangNya itu, tapi dengan cara yang mungkin kurang Engkau suka."
Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan mbak Hafshah.
"Mbak, to the point aja ya. Aku gak ngerti nih.."
"Tadi sepulang rombongan ikhwan-ikhwan itu dari rumahmu, mushibah itu terjadi, Dek. Mereka kecelakaan di tikungan dekat rumah sakit. Tabrakan sama mobil lain. Semuanya luka serius. Hanya calon suamimu yang gak ngelurin darah sedikitpun. Tapi beliau pingsan saat itu.."
Rautku berubah pasi. Begitu banyak pertanyaan bergumul di benakku. Namun tak ada yang mampu kulontarkan. Aku masih menunggu kata-kata mbak Hafshah.
"Tapi.. baru beberapa menit sampai di ruang UGD, dokternya bilang...", suara mbak Hafshah terhenti.
"Bilang apa, Mbak?", tanyaku setengah tak sabar.
"Calon suamimu sudah diambil sama Yang Punya, Dek."
Deg!!
"Maksudnya.. meninggal, Mbak??"
"Iya, Dek. Beliau sudah kembali ke Pemiliknya. Yang sabar, Dek.. Mbak tau ini berat. Sampai-sampai pihak ikhwan gak berani ngasih tau langsung. Makanya Mbak yang bilang. Tapi Mbak yakin, karena Allah menyayangimu. Allah menyayangimu, Dek.. 'afwan, Mbak nyampeinnya lewat telpon. Mbak masih di jalan menuju rumahmu. Tuggu, Mbak sebentar lagi sampe sana. Ingat Allah, Sayang.. sebut namaNya.."
Tut tut tut.
Kumatikan handphone sebelum pembicaraan itu usai.
Kedua tanganku bergetar. Bibirku gemetar. Gigiku gemeretak. Wajahku panas. Kakiku melemas. Aku seolah kehilangan keseimbangan. Antara sadar dan tidak, aku ber-istirja'  lirih.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'uun.."
Dadaku sesak. Telingaku serasa ingin pecah. Dan tanpa kusadari, pipiku telah basah.

***

...Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (QS Ali Imran:154)

Dia. Seorang lelaki yang begitu pemberani mengungkapkan keinginan nuraninya untuk menyempunakan separuh diin, dengan segala keterbatasan ma'isyah. Dia sosok pemuda sejati yang tak memintaku menanti. Dia yang akhlaq dan agamanya sungguh kuridhai. Dia yang telah melafalkan kalimat barakah di rumahku untuk pertama kali. Dia yang seorang hafidz. Dia yang membuatku beristikharah tanpa henti selama satu setengah bulan ini..
Dia. Yang kini mungkin tengah menerima janji Allah, bahwa akan ada bidadari suci nan cantik bermata jeli untuk yang shalih lagi bertaqwa. Seperti dirinya. Semoga.

Dan Allah.. ini membuatku semakin cinta kepadaMu. Kian merindu perjumpaan denganMu.

"Allahumma'jurni fii mushibatii wa akhliflii khairan minhaa.."
"Ya Allah, berikan aku pahala karena mushibah yang menimpaku ini dan berilah aku ganti dengan yang lebih baik daripadanya.."






Bumi Allah,
Aku yang tengah diuji


Afa El Qobumi


By: Fahita Amalia

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Facebook Digg Stumbleupon Favorites More